-->
Adalah nama Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri, yang akrab dengan panggilan Guru Tua.
Nama tersebut tak asing lagi kedengarannya di telinga masyarakat
Lembah Palu dan sekitarnya — sudah sangat populer — terutama dikalangan
To-Dea dan kaum Clercs.
Segenap pencinta memberinya gelar kehormatan dengan sebutan Al ’Alimul ’Allamah Al Bahrul Fahhamarrabbany Al Mujahid Al Maghfuur-lahu. Itulah gelar Honoris Causa, lambang kehormatan yang disandangnya sebagai seorang Ulama — Waratsatul Anbiya’ — yang berjuang tanpa pamrih, guna menegakkan Kalimatullah Hiyal-ulyaa
Sang
Guru telah mengambil peran dalam zamannya; tampil mengibarkan
panji-panji akal budi dan ilmu pengetahuan, tampil berbuat apa yang
menurutnya terbaik bagi umat, masyarakat, agama dan bangsa.
Last but not least, bahwa kehadiran Guru Tua sebagai penyambung tugas ke-Nabi-an, yang senantiasa menyampaikan Risalah Tuhan, mengabdikan seluruh hayatnya untuk mendidik umat, memberantas kejahilan, keberhalaan, kebodohan dan keterbelakangan.
1.Tempat dan Tahun Kelahiran serta Nasab Nasabnya
Taris, sebuah distrik sederhana yang berada ± 5 Km., dari Kota Seiyun di Lembah Hadramaut, terletak di pantai lautan India dekat Yaman Arabia Selatan.
Di
negeri ini pada hari Senin tanggal 14 bulan Sya’ban tahun 1309 Hijriah,
sekitar tanggal 14 Maret 1892 Miladiah dilahirkan seorang putra yang
oleh kedua orang tuanya di beri nama Sayyid Idrus Bin Salim.
Julukan Sayyid
yang mengawali namanya sebagai pertanda bahwa ia termasuk keturunan
bangsawan. Julukan ini seringkali dijumpai dalam masyarakat Arab,
biasanya digunakan oleh mereka yang tergolong kerabat keluarga besar
yang di kenal dengan Ahlul Bait.
Memang, dalam kebiasaan masyarakat Arab, julukan Sayyid umumnya digunakan oleh keturunan Husain Bin Ali Bin Abi Thalib. Sedangkan keturunan Hasan, anak sulung sang Khalifah Khalifaturrasul yang ke-4 itu kebanyakan menggunakan julukan Syarif. Baik Sayyid ataupun Syarif semuanya keturunan Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah
Di tanah Hadramaut yang di sebut Sayyid atau Syarif
adalah para pejabat keagamaan, juga golongan bangsawan yang ikut serta
melaksanakan Administrasi Kerajaan. Dus, Sayyid Idrus Bin Salim Al
Jufri memang ahli waris utama julukan ini, sebab ia seorang putra aristokrat yang menjadi pejabat keagamaan pula.
Silsilah
keturunannya sambung menyambung sampai kepada Rasulullah Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang Nabi dan Rasul dari rumpun suku
Quraisy yang masyhur, meskipun bukan dari salah satu warga Kerajaan yang
dominan.
Jalinan
silisilah dengan Muhammad Rasul Allah melalui Fathimah Az-Zahrah—Ali
Bin Abi Thalib, Husain dan putranya, Ali Zainal Abidin. Sementara Ali
Zainal Abidin itu sendiri adalah seorang putra tunggal dari pasangan
ideal Husain Bin Ali Bin Abi Thalib dengan Syahzanan putri Yazdajird —
Raja Persia.
Boleh jadi Tuhan sudah menakdirkan Ali Zainal Abidin yang bergelar As Sajjad ini menjadi penerus tali keturunan Fathimah Binti Muhammad guna melanjutkan generasi Al Ithrah.
Tersebut di dalam Kitab Al Kaukabul ‘Alawy Fie Manaqib Watarjamati Sayyidil Imam Al Bahrul ‘Allamah Alwy Bin Saqqaf Al Jufri
karya historien terkenal Syekh Salim Bin Hamied, bahwa Sayyid Idrus Bin
Salim Al Jufri — Sang Pendidik Agung Alkhairaat — dari garis ayahnya
mempunyai silsilah sebagai berikut “Idrus — Salim — Alwy — Saqqaf —
Alwy — Abdullah — Husain — Salim — Idrus — Muhammad — Abdullah — Alwy —
Abu Bakar Al Jufri — Muhammad — Ali — Muhammad — Ahmad — Alwy —
Muhammad — Alwy — Ali—Muhammad—Ali — Muhammad Alfaqihulmuqaddam —
Ubaidillah — Ahmad Al Muhajir — Isa An Naqib — Muhammad An Naqib — Ali
Al ‘Uraidhy — Ja’far Ash Shadiq — Muhammad Al Baqir — Ali Zainal
Abidin — Husain — Ali Bin Abi Thalib”.
Sayyid Ahmad Bin Muhammad Bin Saqqaf Al Jufri dalam bukunya Tarjamatul Jad Salim Bin Alwy (Gersik-Indonesia) menulis bahwa “Sayyid
Salim Bin Alwy Al Jufri ayah kandung Sayyid Idrus, mengakhiri masa
jejakanya dalam usia 18 tahun, dengan mempersunting seorang putri
muliawan bernama Fathum Binti Muhammad Bin Ahmad Al Jufri (th.
1284 H). Ummi Fathum inilah yang merupakan ibunda dari anak sulungnya
yang bernama Sayyid Abdul Qadir”.
Kemudian
Sayyid Salim menikah lagi. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah anak
yang bernama Syech dan ….. Sesudah itu, menikah dengan seorang gadis
rupawan, Syarifah Nour. Seorang perempuan blasteran Arab-Bugis,
yang menurut khabarnya masih kerabat dekat dengan Arung Matoa (Raja yang
dituakan) di Wajo-Sengkang, Sulawesi Selatan.
Pernikahannya dengan Syarifah Nour
mendapatkan enam orang anak, putra dan putri. Keenam orang anak itu ada
yang menjadi kakak dan ada pula yang menjadi adik dari Sayid Idrus.
Sebab ia dilahirkan sebagai anak ke-dua dari enam orang bersaudara, yang
seayah dan seibu kandung dengannya.
Sayyid
Idrus kecil dianugerahi oleh sang pencipta paras wajah dan nalar yang
amat gemilang, sehingga tidaklah heran kalau kecakapannya melebihi
kecakapan kanak-kanak yang sebaya dilingkungannya. Tujuh tahun kemudian,
ia sudah mengenal baik lingkungan sekitarnya. Pergaulannya dengan
orang-orang yang mukim disekitar rumah baik dan ramah. Ia tahu diri
dan berbudi, halus tutur katanya. Mungkin didikan juga dari kedua orang
tuanya. Bahkan terhadap mereka sekali-kali tiadalah ia meninggikan
diri, mengikuti kebiasaan anak-anak kaum elit bangsanya. Meskipun ia
sendiri tahu ketinggian derajatnya sebagai seorang putra golongan elit
bangsa Arab yang berasal dari kalangan Ba’alawy.
Kepekaannya
terhadap lingkungan sosial manusia sekitarnya teramat tinggi. Dan konon
khabarnya dalam usia dini, 18 tahun dalam perhitungan kalender, ia
sudah hafal Alqur’an sekaligus faham seluk beluk Asbabun-nuzul-nya. Sudah menurun ke dalam dirinya kelebihan-kelebihan sang ayahda tercinta dan kakek tersayang.
Ayahnya seorang ulama auteur, penulis buku-buku tentang syari’ah, bahasa dan agama. Diantaranya ialah ; I’anatul Ikhwan1 Arjauzatu Filfiqh, Nadzmul Ajrumiyah, Hamziyatu Fie-madhi Khairil-bariyah Shallalahu Alaihi Wasallam dan Syarah Umdah2 (An Nahrul Mutadaffiq ‘ala umdatilmuhaqqiq).
Sementara sang kakek, bernama Sayyid Alwy, terkenal pula sebagai Religious Chief yang bonafid di daerah Yaman dan sekitarnya. Untuk mengenangnya, ia menulis madah ini ;
A k u punya leluhur, penghulu di negeri Sana'a
Dalam berbagai disiplin ilmu mereka punya karya ilmiah
Pun di negeri Dimar banyak sekolahan didirikan
Kakekkulah tokoh-tokohnya yang berperan
2. Pendidikan dan Guru Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri
Apabila
ditelusuri riwayat pendidikannya, mungkin lebih banyak bersifat
otodidak, belajar sendiri secara pribadi meskipun sang ayah yang sangat
religius dengan sedikit kecenderungan tasauf itu tetap membimbingnya
dengan telaten, baik di bidang keilmuan maupun pada sikap mentalnya.
Sayyid
Idrus menapaki jenjang pendidikan seiring dengan pertumbuhan jasmani
dan perkembangan daya nalar pikirannya. Ia sangat ulet belajar dan rajin
membaca, karena dirinya insyaf hanya dengan banyak belajar dan banyak
membaca secara continue, penuh disiplin dan konsentrasi, pasti akan mendatangkan bermacam-macam keuntungan di kemudian hari.
Sikap
mental ini pun senantiasa ditumbuh-kembangkannya dengan sebaik-baiknya,
sehingga kebiasaan-kebiasaan baik itu menimbulkan self-reliance yang jitu dalam hidupnya.
Nun, di suatu malam yang syahdu, angin berdesir lemah gemulai, suasana sepi—naonompi’i.
Semua orang sudah pada terlena di alam mimpinya masing-masing. Sayyid
Idrus terjaga dari kenyenyakan tidur. Sambil mengusap mata, ia
bergerak dan bangkit, lalu berwudhu untuk sembahyang Tahajjud.
Kemudian
dengan hati yang amat tulus berdo’a kepada Tuhan. Ia berseru kepada
dzat yang Mahamendengar dan Mahamelihat. Ia memohon kepada Allah yang
Mahapemberi dan mengabulkan. Do’anya singkat ;
Tuhanku !
Tambahkanlah pengetahuanku
Anugerahkanlah daku pemahaman sesuatu
O, T u h a n !
Lapangkanlah dadaku
Sekaligus mudahkanlah semua urusanku
Serta lepaskanlah kekakuan dari lisanku
Agar mereka mengerti tuturan dan perkataanku
Ach,
rupanya ia juga butuh, …… membutuhkan ilmu dan kecakapan. Yach, ilmu
dalam arti luas yang tak usah di rinci lagi karena yang mendengarkannya
pasti lebih tahu tentang apa yang terselip di lubuk hati yang bermohon.
Dan si pemohon pun sudah menyadari sepenuhnya mengenai kenyataan, bahwa
hanya dengan ilmu dan kecakapan, kelapangan jiwa dan kemudahan segala
urusan, semua kendala dan rintangan akan mudah diatasi, sekaligus
gampang diselesaikan.
Do’a
yang selalu dipanjatkannya terkabul. Allah melapangkan jalannya untuk
menimbah ilmu pengetahuan dan menambah kecakapan. Ia pun berangkat
menuju Mekah Al Mukarramah.
Dialah penulis bait-bait syair yang sangat bermakna ini;
Mencari ilmu pengetahuan
Bagi setiap abdi adalah kewajiban
Pun kehidupan mereka haruslah dengan
Kecakapan ilmu (sains) dan irfan ( mistisisme)
Bahkan sebegitu jauh ia mengungkapkan ;
Tak kan beroleh ilmu tanpa belajar
O, angkatan muda
Pun tiadalah bersifat santun
Selain membiasakan kesopanan.
Dan juga katanya ;
Muliakanlah ilmu pengetahuan
Pun mereka yang berilmu semua
Dan salutlah terhadap gurumu
Dengan ta’zim dan penghormatan.
Meskipun engkau tlah mengorbankan
Harta dunia dengan segala macamnya
Maka belum jugalah sempurna agaknya
Hak dan kewajibanmu kepada sang guru.
Martabat seorang guru
Dikalangan cerdik pandai
Adalah lebih tinggi nilainya
Daripada derajat orang tua.
Pernyataan
dalam ungkapan-ungkapan itu bukanlah tanpa alasan, sebab tak dapat
diingkari, ia adalah sesok pemburu ilmu pengetahuan. Sedangkan
pengetahuan dan kepandaiannya tidaklah semata-mata diperoleh dari sang
ayah, tetapi juga para ulama ternama teman sejawad ayahnya. Sehingga
tersebutlah sederetan nama, seperti ; Sayyid Muhsin Bin Alwy As
Saqqaf, Abdurrahman Bin Ali Bin Umar Bin Saqqaf As Saqqaf, Muhammad Bin
Ibrahim Balfaqih, Abdullah Bin Husain Shaleh Al Bahar, Idrus Bin Umar Al
Habasy, Abdullah Bin Umar Asy-Syathary, Muhammad Ba’ Katsir, Sayyid
Ahmad Bin Hamid, Syekh Abu Bakar Bin Ahmad Al Bakry, dan
Alhabibul’arifubillah Ali bin Muhammad Al Habasy, sebagai guru-gurunya.
3. Dari Hadramaut Ke Haramain
Taris,
…… Tarim, …… Seiyun – Hadramaut. Berangkatlah Sayyid Idrus bersama
ayahnya meninggalkan negeri tempat tumpah darahnya, tanah asal kediaman
leluhurnya yang mulia dan ternama, beranak pianak sejak generasi Sayyid Ahmad Bin Isa Bin Muhammad Bin Ali Al Uraidhy Bin Ja’far As Shadiq Bin Muhammad Al Baqir.
Bersama sang ayah tercinta ia menuju kesuatu tempat yang diagungkan, lagi disucikan Baitullah (Ka’bah) guna menunaikan ibadah haji sebagai kelengkapan rukun Islam yang lima, yang diwajibkan terhadap orang-orang muslim yang sudah mencukupi syarat-syarat pelaksanannya, di Haramain.
Seusai berkeliling (Thawaf) di sekitar Ka’bah, melakukan Thawaful-wada’,
thawaf selamat berpisah. Lama ia termenung memikirkan sesuatu, ……
sesuatu cita ! Citanya selagi masih berada di tanah Hadramaut “Aku butuh, …… butuh pada ilmu pengetahuan dan kecakapan, …… ?!”. Ketika sedang asyik termenung, tiba-tiba ayahnya berucap ; “Isy fiddunnya ma-syi fiiha yu’jab — Kehidupan dunia ini sekali-kali tiadalah menakjubkan”. Beberapa saat diantaranya ia pun menyahut ; “Benar ayahku, tapi . . . sejak tadi anakanda senantiasa berfikir hendak menyambung pelajarannya dalam perkara agama”. Sang ayah berujar ; “Kalau begitu pikiranmu nak, mudah-mudahan Tuhan memberikan anugerah dan perlindungan akan dirimu”. Lebih jauh sang ayah menyatakan “Anakku,
pengetahuan tentang agama amatlah penting. Orang-orang yang berupaya
mencarinya bakal dimudahkan jalannya ke sorga. Bahkan Dia (Allah)
meninggikan derajat mereka yang berilmu agama beberapa derajat.
Ingat baik-baik nak ! Siapa yang dikehendaki Allah beroleh kebaikan
diberinya pemahaman tentang agama”. Jawabnya ;”Semoga ayahku !”
Kembali ia bertepekur, merenungi nasehat ayahnya. Dan dengan tekad yang kuat ia pun menyimpulkan “Sudah seharusnya aku tinggal di sini guna menambah ilmu dan kecakapan”. Bermukimlah ia di Mekah. Dari tempat inilah diperolehnya keterampilan Idarah (Administrasi/Management), Zi’amah dan Imamah (Leadership dan kepemimpinan) serta Khilafah — yang menyangkut tata kenegaraan dalam Islam.
Beberapa
waktu kemudian, maka datang jugalah kerinduannya untuk balik-pulang ke
tanah air tumpah darahnya, hidup berkumpul dengan sanak famili serta
masyarakat kaumnya. Memang, sudah menjadi tabiat dan pembawaan manusia
agaknya, lahir ke dunia ini mencintai negeri dan kampung tempat darahnya
tertumpah, meski negeri atau kampung tempat dia dilahirkan itu indah
mempesona atau tidak. Dan sudah menjadi tabiat dan bawaan manusia pula
mencintai kaum kerabat sebangsa yang sama-sama dilahirkan di tempat
tumpah darah yang satu.
Akhirnya
dengan hati riang bercampur duka, ia pun bersalam-salaman sebagai
isyarat pamitan untuk pulang ke Taris – Hadramaut, meninggalkan Haramain
sesudah kurang lebih setengah tahun bermukim di Mekkah. Rianglah
hatinya sudah, karena dapat menimbah ilmu pengetahuan sekaligus
menambah pengalaman dan kecakapan di kota yang ditunjuk Tuhan sebagai centrum
seluruh umat untuk menyatukan diri dalam satu arah, solidaritas
dan tauhid. Akan tetapi, ……terasa duka akibat berpisah
dengan masing-masing guru yang juga berjasa dalam menempa diri dan
membina wataknya.
4.Dari Panggung Clerc ke Medan Perjuangan dan Politik
Sebagai seorang Clerc, Sayyid Idrus mempunya reasoning power — kemampuan nalar — yang baik, memiliki berbagai kecakapan, sekaligus tertarik kepada hal-hal rohani, things of mind. Ia memang orang kerohanian, orang yang mengabdikan hidupnya untuk tujuan yang bukan duniawi. Prinsipnya “Membangun akhirat melalui wahana Alkhairaat” dengan semboyan “Fastabiqulkhairaat — Berkompetisi melakukan kebaikan dan perbaikan”.
Berdasarkan
prinsip dan semboyan itu, maka ia juga menunjukkan tanggung-jawab moral
terhadap masyarakat bangsanya. Dengan memimpin umat kejalan yang lurus,
mengajarkan mereka menbedakan antara yang hak dan yang bathil. Ia
berani membela kebenaran yang telah menjadi keyakinannya terhadap siapa
pun juga. Ia tak segan-segan mempertahankan pendapatnya, kendati
bertentangan dengan pendapat umum. Kemampuannya berpikir bebas dengan
tidak cenderung mengikuti begitu saja pikiran orang lain agak menonjol.
Kecenderungan berpikir bebas, berani mengemukakan pendapat dan buah
pikiran itu mengantarkannya menjadi pemimpin di kemudian hari.
Alhasil, suatu hari diadakanlah rapat pleno untuk memilih Mufti, seorang yang memangku jabatan resmi tertinggi di bidang keagamaan. Jabatan yang dipangku ayahnya sebelum wafat. Seusai lobbying mereka menawarkan sambil berkata “Peganglah kedudukan ini wahai Abu Fathimah !”.
Sayyid Idrus tak berucap sekatapun jua. Ia hanya diam
membisu,……membayangkan keberadaannya sebagai orang baru dalam lingkungan
masyarakat, membayangkan dirinya masih terbilang muda, membayangkan
bagimana nantinya kalau dinobatkan sebagi Mufti, pemberi fatwa
bagi masyarakat dan umat tentang sesuatu pandangan hukum atas
masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Tentunya tidak gampang,
apalagi kalau di dalam masyarakat banyak orang yang pintar-pintar bodoh.
Sulit pikirnya. Lalu dengan perkataan tertegun-tegun ia berujar “Ti’ . . t i d a k, ……! Tidak usah aku yang memegangnya. Memangku jabatan itu ?! Berikanlah kepada orang yang berhak”. Mereka menasehatinya, …… “Terimalah, sebab anda lebih pantas untuk menggantikannya”. Ia terdiam sejenak, dan tak seberapa lama setelah itu, ia lantas berkata kepada mereka semua “Bersediakah kalian di bawah kepemimpinan Idrus Bin Salim, …… ”. Serentak mereka berkoar “Sssetuju, setujuuu, ……setujuuu !”. dan iapun memangku jabatan itu, menjadi Mufti, kala usianya hampir mencapai 20 tahun.
Pujangga Arab berolok ;
Pabila seorang pemuda berumur dua puluhan
Dan belum juga memperoleh kemegahan
Niscaya tiada kan kemegahan lagi baginya
Dan juga ;
Jikalau kau tak pernah meraih kemuliaan
Di hari hari mudamu
Tiadakan mulia perjalanan hidupmu hingga tua
Itulah bagian yang paling berharga dalam usiamu
Rebutlah peluang itu
Jangan biarkan berlalu dengan sia – sia.
Dan ketika dominasi imprealisme bersimaharajalela dinegerinya, tampillah ia ke medan perjuangan dan politik bersama Sayyid Abdurrahman Bin Ubaidillah As Saqqaf, guna menyusun kekuatan mengusir imperialist Inggeris. Nampaknya ia seorang nasionalis, bahkan sangat nationalistisch. Tetapi nasionalismenya tidak bersifat chauvanisme. Bersama sang sahabat itulah ia mengadakan blue-print, mencari dukungan dari negeri Yaman dan Mesir. Mereka pun berjuang, ……!
5. Tragedi Aden
Sang mentari sudah jauh condong kesebelah Barat. Angin sejuk di bandar Aden
mulai terasa menyentuh badan. Sayyid Idrus yang nasionalis sejati, yang
gagah, ganteng, bertubuh kekar, berwajah hebat dan bermata jeli, dengan
wataknya yang tegas, penuh wibawa dan tanggung-jawab, menggunakan
stelan busana khasnya berjalan menyusuri tepian jalan menuju Marfa’ Aden.
Tinggal beberapa meter lagi ia akan sampai ketempat yang di tuju. Ia
sedang asyik dengan pikirannya sendiri, tanpa menghiraukan orang-orang
yang ada disekitarnya.
Sayyid
Idrus — Sang Mufti — melepas lelah di tempat transit. Ia memperhatikan
kapal-kapal berlabuh, pikirannya sudah berkelana di sekitar Yaman dan
Mesir. Hatinya masygul, detakan jantungnya tiada menentu, di antara
gegap gempita gemuruh suara penumpang yang lalu-lalang didepannya.
Lama
juga rasanya menanti keberangkatan kapal tumpangan ke-negeri yang
hendak di tuju. Di kiri-kanan masih banyak penumpang lain yang antri
menuju jalur yang sama. Memang, menanti itu termasuk pekerjaan yang amat
berat. Malam semakin kelam, awan gelap kembali menutupi cakrawala.
Tiba-tiba kedengaran sayup-sayup sapaan dari aparat keamanan British Indian Forces yang sedang berjaga“Afwan yaa akhii, Maaf, Siapa nama Tuan ?” Tanyanya penuh hormat. “Idrus Bin Salim Al Jufrie” Jawabnya. “Sendirian sajakah ?” Tanyanya lagi penuh selidik. “Ya, saya sendirian” Sembari memperkenalkan dirinya. “Syukran !”
sambut sang penanya. Pembicaraan mereka terhenti sampai di situ. Sang
penanya kembali sibuk dengan tugasnya sebagai aparat keamanan di daerah
pesisir pantai.
Sementara itu, kapal yang akan ditumpangi masih tetap berlabuh di bandar Aden. Sebuah bandar yang terletak di daerah perbatasan Yaman dan Hadramaut. Tempat ini berfungsi sebagai kota pelabuhan Yaman di pantai lautan Hindia.
Tiada
seberapa lama usai sang aparat keamanan bercakap-cakap dengannya,
timbul firasat buruk dalam dirinya. Ia pun kuatir, takut kalau-kalau
sesuatu akan terjadi atas rencananya. K a r a m t i a d a b e r a i r. Kekuatiran itu cukup beralasan, sebab sang penanya tadi yang asyik ngobrol dengannya, mungkin saja kaki tangan British Intelligence Service, Dinas Rahasia Pemerintah Penjajah Inggeris.
Ia pun diam membisu. Melihat keadaan itu, seseorang yang duduk berdekatan dengannya berucap “Ya akhii, …… sudah lama ana perhatikan hal ikhwalmu, rupanya ente lagi sedang kuatir yang amat sangat bukan ?” Ujar orang itu memulai percakapan. “Tidak, aku tidak merasa kuatir” Ucapnya menyangkal. Orang tadi menyahut “Al
‘ainu babulqalbi maa kaan fielqalbi dzhaharah fiel’aini — Mata itu
pintu hati, apa yang terlintas dalam hati, nampak adanya di mata”.
Mendengar ungkapan ini, ia pun mengaku. Dan dengan suara serak diterangkannya prihal kekuatiran itu. “Begini
shahib, kalau nanti kaki tangan Imperialist mengetahui rencana
petualanganku, mengadakan hubungan diplomatik dengen negeri-negeri
Islam, guna penghancuran musuh-musuh Islam dan kaum muslimin, melepaskan
cengkraman kuku-kuku persekongkolan imperialisme atas negeri kita yang
tercinta, serta meningkatkan solidaritas sesama umat Islam, pasti
rencana itu akan mengalami kegagalan, . . .”. Belum tuntas persoalan
yang menghantui tadi diceritakan, datanglah apa yang dikuatirkan selama
ini. Sang intelijen memanggilnya, sambil menginterogasi. Terungkaplah
sudah latar belakang keberangkatannya menuju Yaman dan Mesir.
Ketika terungkap latar belakang keberangkatan sekaligus maksud dan tujuannya, maka diadakanlah pem-beslag-an
terhadap dokumen-dokumennya. Sementara diri-nya dihadapkan dengan
alternatif-alternatif yang menyebalkan hati; Kembali pulang kekampung
halaman atau mengubah haluan ke Asia Tenggara. Dua pilihan mutlak.
Setelah
berpikir sejenak, diputuskannya memilih alternatif kedua, mengembara ke
Asia Tenggara, dengan harapan membangun kekuatan baru di sana.
Agak redam suaranya berdo’a saat menaiki tangga kapal yang akan berlayar menuju Asia Tenggara “Allahumma
sallimnii wa sallim maa ma’ii, wahfidzhnii wahfidzh maa ma’ii, wa
ballighnii wa balligh maa ma’ii — Ya Allah selamatkanlah aku dan apa-apa
yang ada bersamaku, dan jagalah aku serta apa-apa yang ada padaku, dan
sampaikanlah aku beserta apa-apa yang kubawa”.
Berlayarlah
kapal yang ditumpanginya memecah ombak dan gelombang dalam kesunyian
malam melewati Mukalla, berlayar terus melalui selat Malabar, memasuki
perairan Hindustan menuju Singapura. Terakhir tiba di pelabuhan Batavia di tanah Nusantara Indonesia (Nederlanns indie).
6. Perlawatan dan Karyanya
Agaknya tahun 1922 Miladiah mempunyai makna tersendiri bagi diri Sayyid Idrus, sebab dalam tahun itu juga tibalah ia di Batavia (Jakarta). Dari Jakarta menuju ke Pekalongan, sekaligus mukim di sana. Entah mengapa ia memilih tempat ini.
Menjelang
tiga tahun bermukim di sini disuntingnya Syarifah Aminah Binti Sayyid
Thalib Al Jufri. Dan sang isteri memberinya tiga orang putri,
masing-masing bernama ; Syarifah Lu’lu, Syarifah Ni’mah, dan Syarifah
Masythurah.
Pernikahan
ini merupakan yang ketiga kalinya, karena selagi masih di Taris ia
sudah menikah dan punya keturunan. Pertama nikah di Gorfah dengan putri
Sayyid Umar Al Balhy keturunan suku Ba’ Abbad, dikaruniai seorang putri
tunggal, Fathimah namanya. Kedua nikah dengan putrinya Sayyid Hasan
Bin Ahmad Al Bahr, dikaruniai putra dan putri, masing-masing ;
Muhammad, Raghwan dan Salim.
Saat mukim di Pekalongan, ia berwiraswasta, menjadi entreprenours per-batik-an. Kemudian turnei ke Jombang mengembangkan usahanya. Di daeerah ini sempat pula ia berkenalan dengan Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari,
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombang. Juga menikah
dengan seorang perempuan Jawi di desa Ngersa. Usia pernikahannya tidak
begitu lama, sebab perempuan itu di dicerainya. Mungkin hanya sekitar 1½
tahun daerah Jombang menjadi tempat pengembangan pasaran usahanya.
Dari Jombang hijrah ke Solo (Surakarta).Lagi-lagi di sini ia membina Madrasah Ar-Rabithatul ‘Alawiyah
Cabang Solo. Kurang lebih dua tahun ia menjadi pembina madrasah itu.
Dan sekarang madrasah tersebut telah berubah nama menjadi Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro.
Dalam tahun 1929 Masehi, sang entreprenours berlayar menuju ke pulau Sulawesi guna menziarahi saudaranya yang lain ibu — Kanda Syech Bin Salim Al Jufri — di Manado (Sulawesi Utara).
Selama berkunjung di Manado, hatinya tertarik mendengar kisah-kisah petualangan sang kakak dalam dunia business antar daerah. Khususnya di daerah-daerah pedalaman Sulawesi,
termasuk desa Vani, sebab kandanya punya hubungan dagang dengan
orang-orang di desa ini. Juga dari kandanya ia mengetahui keadaan
ekonomi masyarakat setempat, sekaligus kehidupan sosial keagamaan
mereka.
Tak berbilang waktu di Manado, berlayarlah ia mengunjungi daerah yang dimaksud. Beberapa malam dan hari di ombang-ambing oleh gelombang di perairan Sulawesi,
hingga akhirnya tiba di pelabuhan Donggala. Dari pelabuhan ini
diteruskannya perjalanan menuju desa Vani. Sebuah desa di Kecamatan
Tavaili (Terletak ± 25 Km., dari Kota Palu).
Melihat
sifatnya yang shaleh, masyarakat menaruh hormat atas dirinya. Selang
beberapa waktu, golongan minoritas keturunan bangsa Arab yang bermukim
di desa ini, bermaksud menjodohkannya. Lantas bagaimana ? Mereka
mengadakan approach kepadanya. Pendekatan mereka rupanya berhasil. Ia setuju untuk dinikahkan dengan Syarifah Kaltsum. Akan tetapi, karena satu dan lain hal rencana pernikahan itu dibatalkannya.
Ketika
ia berhajat mendirikan sebuah Madrasah di desa ini, masyarakat setempat
menyambutnya dengan hangat. Segala keperluan untuk itu disiapkan. Ruang
tempat belajar ada, bangku ada, meja ada, murid-murid yang ingin
belajar ada, semuanya sudah diadakan. Tinggal penentuan hari untuk
belajar. Di luar dugaan, datang rombongan keluarga besar golongan Arab
dari Palu. Entah karena urusan apa mereka ke sini. Dan yang datang waktu
itu, termasuk Tuan Nashir Bin Khamis Al Amry (Kepala suku Arab),
Sayyid Abdurrahman Bin Husain Al Jufri, dan lain-lain.
Kedatangan
mereka itu rupanya untuk shilaturrahim dan bershilaturrahmi, sekaligus
mengundang Sayyid Idrus berkunjung ke Palu. Mereka sangat mengharapkan
kesediaannya untuk datang. Sayyid Idrus memenuhi undangan mereka.
Setibanya di Palu, mereka pun menawarkan kepadanya agar mukim di kota
ini. Di (Lembah) Palu menurut keterangan mereka cocok sekali didirikan
Madrasah. Karena itu, mereka membujuknya supaya rencana pembukaan
Madrasah (Sekolah Agama) di Vani dialihkan saja ke kota Palu.
Demikianlah
manusia hanya bisa merencanakan, tapi Tuhan jugalah yang menentukan
semuanya. Rencananya dan maksud hati masyarakat setempat sekali-kali
tiada terwujud, meskipun sudah dipersiapkan adanya. “Katakanlah ; Semua itu datang dari Tuhan”(Qs. 4:78).
Dan rencana pembukaan Madrasah di desa Vani dialihkan ke kota Palu. Pengalihan tersebut mendapat r e s t u dari masyarakat setempat dan semua pihak yang terkait. Di Palu sang Paedagoog mengawali karya dan karirnya dari sepetak Toko kepunyaan Hi. Quraish di kampung Ujuna. Ruangan Toko ini merupakan Central of activity-nya yang perdana. Empat bulan kemudian beralih kerumah kediaman Hi. Daeng Marotja di kampung Baru.
Alkisah, suatu petang Sayyid Idrus bermuwajjahah dengan para pencintanya, simpatisan pengajian. Salah seorang di antara mereka ada yang berkomentar “Eeehyi
Guruta, sore ini keadaan kita semua sehat-sehat wal’afiat.
Hadzhihi ni’mat ! Kalau kita-kita mensyukuri nikmat itu,
mungkin mendatangkan berkat. T a p i kalau tidak, bias saja
menimbulkan laknat”. Kemudian ungkapnya lagi, . . . “Lama sudah
kami mempelajari keadaan Tuan, juga mendengarkan petuah-petuahnya.
Pengaruh Tuan sudah besar, n a m a Tuan telah terkenal, menjadi buah
mulut dimana-mana. Masyarakat kami mencintai Tuan sepenuh hati dan budi,
menyayangi Tuan sepenuh harga. Dan komiu Guru, secara pribadi sudah
terbiasa dengan adat istiadat kami. K o m i u N a b e l o”. Suasana hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara lagi “Maaf, Tuan Guru ! Sebenarnya kami ini punya maksud, ……”. Kata orang itu pelan melanjutkan pembicaraan. “Maksud afa ?” Tanyanya penuh perhatian. “Begini
Guru, …… em …… kami bermaksud supaya Tuan berkenan dijodohkan dengan
Hajjah Intje Aminah Binti Daeng Suyite (Ite)”. “Afa, ……? Mau dijodohkan,
zuwaij, zuwaij !” Bisiknya pelan. “Benar Guru !” Jawab mereka serempak.
Sementara itu, I t e,
nampak air mukanya tersipuh malu. Nafasnya seperti senak. Ia tersenyum
simpul. Mulutnya terkunci. Bungkan, tiada berkata. Ia tak tahu apa yang
hendak di ucap, barang sepata dua. Ia sama sekali tak menyangka
datangnya jodoh. Apa lagi menduga-duga pernikahan. Maklum dirinya
hanyalah seorang janda.
Syahdan,
tak terbilang harinya pernikahan pun dilangsungkan. Di sini Sayyid
Idrus sengaja menghancurkan sendi-sendi pernikahan intern (sesama suku
atau bangsa) yang merupakan tumpukan sifat ashabiyah (fanatisme
kesukuan) dan keangkuhan. Ia berusaha menaburkan benih-benih sosial
sekaligus menghancurkan fanatisme kesukuan (suku-isme). Semua ini
terlaksana karena keluasan ilmu dan ketinggian morilnya, sebagaimana
disaksikan oleh orang-orang penting yang hidup semasa dengannya.
Sungguh,
kehidupan mereka berdua sangatlah bahagia. Hidup sebagai suami-isteri
yang sehaluan dan secita-cita. Janda yang mukhlishah itu membantu usaha
suaminya dengan harta dan dirinya. Suaminya pun mencintai jiwanya.
Sebaliknya sang isteri menyayangi pula diri suaminya. Cinta kasih
mereka membuahkan dua orang putri, Syarifah Syidah dan Syarifah
Sa’diyah.
Pernikahannya
dengan Hajjah Intje Aminah Daeng Suyite itu, hampir setahun usai
pengresmian Gedung Alkhairaat yang pertama. Dan perlu di catat di sini
bahwa dalam perlawatannya ke Ampana, ia sempat mempersunting Syarifah Hawlah binti Husain Al Habasy sebagai isterinya, meskipun tiada seberapa lama menyusul keputusan menceraikannya.
Pengresmian
Gedung Alkhairaat yang pertama itu pada tanggal 14 bulan Muharram tahun
1349 Hijriah, bertepatan dengan hari Rabu tanggal 11 bulan Juni
tahun 1930 Miladiah. Dan kata “A l k h a i r a a t” yang menjadi nama Perguruan ini bersumber dari beberapa ayat suci Alqur’an. Termaktub dalam 8 (delapan) surat, dan 10 (sepuluh) ayat.
Kedelapan surat dan sepuluh ayat dimaksud, ialah ;
1. Surat Al Baqarah (Sapi Betina) ayat 148
2. Surat Ali Imran (Keluarga Imran) ayat 114
3. Surat Al Maidah (Hidangan) ayat 48
4. Surat At Taubah (Pengampunan) ayat 88
5. Surat Al Anbiyaa (Nabi Nabi) ayat 73 dan 90
6. Surat Al Mu’minuun (Orang-orang yang beriman) ayat 56 dan 61
7. Surat Fathir (Pencipta) ayat 32
8. Surat Ar Rahman (Yang Maha Pemurah) ayat 70
Dengan
adanya Perguruan Alkhairaat, bangkitlah gairah keagamaan di Lembah
Palu. Masyarakat setempat dan sekitarnya berdatangan guna memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya dari ilmu pengetahuan dan akhlak yang
diajarkannya. Banyaklah murid dan murad yang mondok di Perguruan ini.
Mereka yang telah menamatkan pelajaran kembali kekampung halamannya
melakukan da’wah fardiyah. Dus benar kata sang Pendidiknya, Sayyid
Idrus Bin Salim Al Jufri ;”Alkhairaat ini mengharumkan nama Palu.
Sebab dimana-mana ada cabang Madrasah, mau tak mau nama Palu pasti di
sebut. Insya Allah ! Palu ini menjadi Ka’bah buat ilmu dan tempat tuju
haji ilmu . . .”. Dan pada bait-bait sajaknya ia menyatakan ;
Menuju ilmu dan taqwa
Beta ajak setiap muslim
Pun dengan contoh teladan
Harta, tulisan dan tuturan
Kepada Tuhan beta ajak mereka
Dan inilah Kitab-nya (Alqur’an)
Dari sinarnya maka jelaslah
Bagi mereka segala kejahiliyahan
Sunnah Nabi pilihan pun
Beta serukan untuk mempelajarinya
Didalamnya terdapat petunjuk
Cahaya dan ilmu pengetahuan
Salam tahni’ah buat mereka
Yang segera memenuhinya
Mereka mencapai keridhaan
Sekaligus mendapat keuntungan
***
O, pencari ilmu pengetahuan
Alkhairaat adalah tambangnya
Dalam khazanahnya dapatkan
Tujuan dan harapanmu
***
Alkhairaat punya kita
Banyak ilmu pengetahuan padanya
Sempurnakan dirimu didalamnya
Agar tiada kan merugi sengsara
Selanjutnya pada tahun 1953 diresmikan pembukaan Gedung Alkhairaat yang baru. Ringkas kata, sang Pendirinya pun berkata ;
Gedung yang penuh
Salam dan kemegahan
Selang berhari-hari
Menampakkan keidahan
***
Dian cahayanya memancar
Menyinari semua tempat
Dari Sulawesi sumbernya
Menyatakan kebenaran nan nyata
Nun dari jauh
Cahayanya nampak
Bagi mereka yang
Beroleh petunjuk
Dan tiada kan
Melihat cahaya
Kalbu mata yang buta
Kemudian dengan bangga ia mempermaklumkan karya usahanya ;
D u a p u l u h l i m a tahun
T’lah aku lalui dengan perjuangan
Daku tunaikan sudah amalan
Dengan pujian kehadirat Tuhan
Itulah sekolahan bertebaran
Diberbagai negeri sebagai saksi nyata
Bahwasanya aku tidaklah sia-sia
Dalam semua amalan dan ucapan
Dan juga ucapnya dalam kidung yang bernada haru ;
O, T u h a n !
Limpahkanlah rahmat kasihmu
Bagi hati yang duka
Karena hanya dikaulah Wahai Tuhan
Yang selalu memberi kebaikan
Bagi orang yang lalai dan lupa
Di Lembah Palu santri Alkhairaat
Beroleh keutamaan
Pun dicabang-cabang banyak jugalah jumlahnya
Setiap hari bertambah senantiasa
Tujuh
tahun kemudian, di dekat rumah kediaman sang Guru berdiri sebuah Masjid
sederhana yang cukup megah sebagai tempat ibadah, shalat berjama’ah,
sekaligus tempat pengajian dan aktifitas keagamaan lainnya. Masjid ini
di bangun tahun 1960 Miladiah. Namanya Masjid Alkhairaat
Perihal Masjid itu dilukiskan dalam bait-bait sajak goresan penanya ;
Di Lembah Palu
Beta bangunkan Masjid Alkhairaat
O, santri Alkhairaat
Duduk I’tikaflah dan sembahyang didalamnya
Gurumu mendirikannya
Agar kamu melakukan ritus keagamaan
Hilang dan bersihkanlah dari dirimu
Noda-noda kenistaan
Suatu anugerahan ni’mat
Yang amat sangat
Kemurahan Tuhan kita
Yang empunya segalanya
Puji dan sanjunglah Dia
Atas anugerah limpahannya
Syukuri pula karunianya
Melalui pelaksanaan Sunnah-nya
Siapkanlah dirimu berbuat kebajikan
Selama berada di dunia yang fani ini
Kelak di alam yang abadi
Merasakan kehidupan yang menyenangkan
Semua manusia abdi Tuhan
Adalah rendah, hina, malang dan papa
Hanyalah Tuhan ilahi jua semata
Yang satu-satunya kaya raya
Mintalah kebutuhan hajat padanya
Dengan do’a terus terusan
Pun secara rahasia
Juga terang-terangan
Adalah Nabi Muhammad al Mushthafa saja
Manusia pilihan dan teladan
Dan Bani Az Zahrah datuk sang Hasan
Ucapkanlah kepada mereka slalu
Selawat dan salam kesejahteraan
Dengan suara nyaring lagi merdu
Bak gemercikan dedaun pepohon.
Dan patut di catat secara khusus bait-bait sajak yang disitirnya ;
Inilah karya amal bakti
Yang menyatakan usaha kami
Hendaklah anda
Memperhatikannya
Hasil karya nyata ini
Sepeninggal kami nanti
Begitu pula ungkapan Syekh Muhammad Bin Ma’ruf Badjamal ; ”Inilah
karunia ilahi yang amat besar, dan merupakan keuntungan nan abadi yang
dianugerahkan Allah terhadap negeri Palu dan segenap penduduknya” .
Akhirnya
dapat dikatakan sekaligus menarik dikenangkan, bahwa Sayyid Idrus Bin
Salim Al Jufri adalalah orang pertama yang menyumbangkan hasil jerih
payahnya serta mewakafkan karya amal baktinya kepada masyarakat Lembah
Palu dan sekitarnya. Katanya “Saya wakafkan Alkhairaat ini kepada kalian semuanya”.
7. I’tiqad dan Madzhabnya
Sudah
tak perlu diragukan bahwa Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri — Pendidik
Agung Alkhairaat — dalam hal I’tiqad beraliran Ahlussunnah Waljama’ah.
Suatu aliran yang sering di sebut sebagai aliran Asy’ariyah. Istilah
ini digunakan oleh Ahlul Haq dan para pengikutnya yang mayoritas (Jumhurul Ummatal Islamiyah Wassawadul A’zam) untuk menyebut As Salafusshaleh.
Aliran
ini di emban oleh Ali bin Ismail Bin Ishaq Bin Salim Bin Ismail Bin
Abdullah Bin Musa Bin Bilal Bin Abi Burdah Bin Abi Musa Al Asy’ariy,
berkunyah Abul Hasan Asy’ariyah.
Andaikata Imam Abul Hasan tidak bangkit membela golongan As Salafushshaleh
dan menyerang golongan ahli Bid’ah, terutama sekali kaum Mu’tazilah,
mungkin para ahli Ilmu Kalam sekarang tidaklah mengenangnya sebagai
tokoh pengembang ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah.
Adalah tepat sekali ungkapan Al Quthb Al Haddad dalam bait-bait sajaknya yang di nukil oleh Sayyid Idrus berikut ini ;
Jadikanlah aliran Asy’ariyah
dalam I’tiqadmu
Karena dia yang mula pertama
membersihkan aqidah
dari penyelewengan dan kekafiran
Adapun
madzhabnya berhaluan Syafi’iyah, mengikuti Imam Abu Abdillah Muhammad
Bin Idris, bernasabkan Al Abbas Bin Utsman Bin Syafi’i Bin As Saib Al
Hasyimi Al Muthalliby Al Quraisy. Imam Syafi’i kunyahnya.
Ajaran
madzhab ini dalam melakukan Istimbath senantiasa berpegang pada
Alqur’an dan As Sunnah serta Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dan tidaklah
menggunakan Istihsan yang populer dikalangan ulama Hanafiyah, termasuk Al Mashalihulmursalah pada madzhab Maliki.
Tentang madzhab ini sang Pendiri Alkhairaat mengungkapkan sikapnya ;
Sungguh prilaku hidupku
Menganut pola Imam Syafi’i
Pabila nanti daku mati
Harapanku semoga tetap slalu
Mendapat syafa’at beliau
Uraian
singkat di atas praktis menunjukkan bahwa Pendidik Agung Alkhairaat
adalah seorang sunni sejati yang hanya mengikuti dan melaksanakan
ajaran-ajaran As Salafusshaleh atau yang lebih sering di sebut dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah.
Sunni
sejati inilah yang merupakan golongan dari mereka yang setia mengikuti
dan memegang teguh segala apa yang datangnya dari Nabi Muhammad
Shallallahu Alaihi Wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan (taqrir) maupun sifat-sifatnya serta memegang pula apa
yang datangnya dari para shahabat dalam mengamalkan ajaran-ajaran
agama, terutama di bidang Aqidah.
Itulah golongan yang disinyalir oleh Rasul Allah dalam komentarnya ;“Maa-ana ‘alaihi wa ash-haabii — Golongan yang memegang teguh apa yang Aku dan sahabat-sahabatku memegangnya”.
8. Silsilah Tarekatnya
Kepada Al Haddad yang ternama dan terkenal budiman
Silsilahnya sambung menyambung disandarkan
Aku pun menerimanya dari ayahda yang ternama
Juga dari Idrus Bin Umar gurunya
Dari gurunya yang ke-lima belas dianugerahi
Yaitu S a q q a f sang pembakti
Dari Al Habib Hamid pamanda
Pengganti Al Haddad dalam segala gala
Pun dari Abdurrahman Bilfaqih
Mengijazahkannya kepada seluruh faqih
Dari sang guru Al Kurdy dari Zamzamy
Dari gurunya Ibnu Hajar Al Haetamy
Menerima dari As Suyuthy dari Ahmad Bin Ali
Al Asqalany yang empunya maqam tertinggi
Tarekat atau thariqah artinya jalan. Istilah ini biasanya digunakan dalam Tasawuf bagi jalan kerohanian yang di tempuh seorang Salik. Tujuannya adalah mengarahkan maksud kepada Allahu-khairuljaza’
dengan ilmu dan amal. Yaitu melaksanakan sesuatu amalan
sesuai dengan ajaran-ajaran yang ditentukan oleh Syari’at,
dicontohkan Nabi, dikerjakan para sahabatnya dan tabi’in secara
berkesinambungan, turun temurun, sambung menyambung sampai kepada
guru-guru, masyaikh.
Hubungan pertalian atau mata rantai antara Masyaikh yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad Shallahu Alaihi Wasallam, itulah yang dinamakan S i l s i l a h.
Dari
bait-bait syair yang ada jelas Silsilah Tarekatnya disandarkan kepada
Sayyid Abdullah Bin Alwy Bin Muhammad Bin Ahmad Al Muhajir Bin Isa Al
Husaini Al Hadramy, seorang tokoh yang amat akrab dengan julukan Al
Haddad. Tokoh yang bergelar Al Haddad-lah yang meng-isnad-kannya
(yang menghubungkan dengan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam).
Tapi sayang semua silsilah itu penulis buku ini belum sempat
menemukannya.
Sang
panutan yang bergelar Al Haddad itu dilahirkan di Sabier. Wilayah
Kota Tarim di Lembah Hadramaut tahun 1044 Hijriah (1634 Miladiah) dan
wafat tahun 1132 Hijriah (1720 Miladiah). Juga di kenal sebagai
pendiri Tarekat Haddadiyah, pencipta Ratib Haddad dan pengarang berbagai kitab tentang Aqidah, Tarekat dan Tasawuf, sekaligus seorang Quthub dan Arifien.
Berbeda dengan Idrus Bin Umar, tokoh ini salah seorang pemuka dari Tarekat Alaidrusiyah yang mendapat julukan sebagai Quthub dan Imamul’arifin. Di antara kitab karangannya “Al Yawaqitul Jauhariyah”.
Sebagai guru yang ke-lima belas disebut-sebut nama Saqqaf, mungkin yang
dimaksud dengan Saqqaf ini ialah tokoh sufi ternama dalam madzhab
Mulamatiyah yang telah menganugerahkan Ijazah dan Khirqah sufi kepada Al Haddad. Lalu pamanda yang bernama Al Habib Hamid yang banyak menuntunnya dalam menempuh martabat Suluk. Ini dinyatakannya bahwa sang paman pengganti Al Haddad dalam segala-galanya.
Mengenai Abdurrahman Bin Abdullah Bilfaqih, barangkali lebih tepat dikatakan sebagai Faqih.
Tokoh terkemuka di bidang fiqh yang banyak memberikan ijazah bagi para
pencinta fiqh sebagai tanda boleh melanjutkan pelajaran-pelajarannya
kepada orang lain.
Juga
dalam bait-bait syair itu termaktub nama-nama tokoh yang terkenal
dibidangnya masing-masing, seperti Al Kurdy atau Syekh Muhammad
Amin, penganut Tarekat Naksyabandiyah serta pengarang kitab “Tanwiirulquluub fie Mu’amalatil Ilmul Ghuyuub”.
Ibnu Hajar Al Haetamy atau Allamah Khatimulmuhaqqiqien Syihabuddin
Ahmad Bin Hajar Al Haetamy. As Suyuthy atau Abul Fadl Jalaluddin
Abdurrahman Ibnu Kamal Abu Bakar Ibnu Muhammad Bin Sabiq As
Suyuthy As Syafi’i. Dan Ahmad Bin Ali Al Asqalany.
Bait-bait
syair di atas membuktikan bahwa Tarekat yang dianutnya berdasarkan
Alqur’an dan As Sunnah melalui amalan Ahlul Bait, para Masyaikh dan
penghulu Bani Alawiyyin yang berhubungan dengan Nabi Muhammad Shallahu
Alaihi Wasallam, yang senantiasa mereka warisi dari satu generasi
kegenerasi berikutnya, sejak dari Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al
Baqir, Ja’far As Shadiq dan para pembesar Salafusshalihien.
Adapun jalannya silsilah-silsialh itu, biasanya melalui para sahabat Nabi. Ada
yang melalui Ali Bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah, Abu Bakar As
Shiddiq atau salah seorang di antara sahabat yang lain, bertautan terus
sampai kepada Rasulullah dan Jibril Alaihissalam atas titah ilahiyah.
Demikianlah beberapa catatan tentang Silsilah Tarekatnya, yang dinamakan “Thariqah Shirathalmustaqiem”, maksudnya “Jalan atau Tarekat orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah”(Qs. 1:7). “Yaitu nabi-nabi, para shiddiqien, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh”(Qs. 4:69). “Tunjukilah kami jalan yang lurus, shirathalmustaqiem”(Qs. 1:6).
9. Karakter dan Karamahnya
Semua
orang sepakat karakter Pendidik Agung Alkhairaat amatlah luhur, bersih
dan tidak ternodai oleh hasrat-hasrat pribadi, ambisi, kegairahan untuk
memperoleh kehormatan, kemegahan dan kekuasaan. Sifanya humble,
rendah hati. Amal baktinya ikhlas semata hanya kepada Allah dan
agamanya. Ikhlas artinya bersih, tidak bercampur dengan sesuatu apapun
juga. Bersih karena Allah, beramal setulus-tulusnya mengharapkan
ridhanya, bukan ingin beroleh sanjungan, cari nama dan muka, jual
tampang alias munafiq. Berucaplah ia dalam sajaknya ;
Dan bukanlah jua
Untuk mencari
Harta kekayaan
P a m o r dan
Pangkat kekuasaan
Tapi hanyalah
Mengharapkan
Kemuliaan di Sorga
Yang penuh keni’matan
Firman Allah ; “Kebahagiaan
di negeri akhirat itu, kami sediakan untuk orang-orang yang tidak
menghendaki ketinggian derajat di muka bumi dan tidak pula menghendaki
kerusakan”(Qs. 28:83). “Barangsiapa mengharapkan berjumpa dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amalan yang shaleh dan jangan
mensekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”(Qs. 18:110). “Sesungguhnya
orang-orang munafiq itu diletakkan pada tingkatan yang paling bawah
dari neraka dan kamu sama sekali tidak akan mendapat seorang penolong
pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertaubat, mengadakan
perbaikan dan berpegang teguh kepada agama Allah serta tulus ikhlas mengerjakan
perintah agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang
yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada mereka yang beriman
pahala amat besar”(Qs. 4;145-148).
Memang ikhlas amalnya, tidak culas sifatnya. Mulut terdorong emas padahannya.
Keadaan ini tidak dapat dipisahkan dengan cerapan indrawi yang berupa
ilmu pengetahuan. Daripadanya timbul karakter murah hati dan murah
tangan, kariimah.
Agaknya ada tali temali antara kariimah dan karaamah. Walaupun karamah itu sendiri telah baku penggunaanya terhadap peristiwa-peristiwa luar biasa (khariqul ada’) yang terjadi dalam kehidupan seseorang yang cukup di kenal sebagai pemuka agama berpredikat Wali.
Perlu
diketahui bahwa karamah yang paling besar dimiliki seorang Wali, ialah
selalu mendapat pertolongan untuk berbuat ketaatan dan senantiasa
terjaga dari kemaksiatan. Sahal Bin Abdullah pernah di tanya “Bagaimana karamah itu akan diperoleh ?” Jawabnya “Dia harus mengambil apa yang dia kehendaki seperti dia kehendaki dan dari tempat yang dia kehendaki”.
Mengenai persoalan karamah ini secara pribadi Sayyid Idrus juga pernah di tanya orang “Bagaimana caranya dan apa amalannya, supaya beroleh k a r a m a h ?”. Ia menyarankan “Hendaklah selalu taqwa lahir dan batin”. Kemudian katanya “Apabila kamu mengalami sesuatu kesulitan, ingatlah kepada Allah” Dan jangan lupa “Panggil saya, baik masih hidup atau sudah mati”.
Imamul’Arif Syihabuddin As Sahrawardie, menyatakan “Sesungguhnya
telah terjadi bagi diri para wali bermacam-macam jenis karamah
(keramat); mendengar seruan-seruan dari udara dan kadang himbauan dari
negeri-negeri mereka. Bagi mereka bumi ini laksana dilipat-lipat, mereka
juga dapat mengetahui persitiwa-peristiwa yang bakal terjadi sebelum
terungkap berkat ketaatannya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam, . . .”
Akan
halnya karamah Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri, banyak sekali
diriwayatkan murid-muridnya. Bahkan mereka yang tergolong tokoh-tokoh
masyarakat juga mengakuinya. Tentu saja semua itu terjadi karena izin
Allah semata. “Man yattaqillaha yaj’allahu makhraja—Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya”(Qs. 65:2). “Ketahuilah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekuatiran dan keraguan
terhadap mereka dan begitu pula mereka tak bersedih hati. Yaitu
orang-orang yang beriman dan mereka yang selalu bertaqwa”(Qs. 10:62,63).
Dari
Habib Seggaf Bin Syech Al Jufri dirawikan “Suatu hari mereka sedang
membaca Kitab, qira’ah dihadapan Sayyid Idrus. Dua orang Deurwaarder
mengetuk pintu. Segera pintu di buka. Mereka salaman. Kemudian bertanya
“Mana itu Tuan Idrus, …… ! ini ada permintaan untuk melunasi piutang
(sambil memperlihatkan segel perjanjiannya dengan Ali Bin Muhammad Bin
Sungkar Pekalongan”. Mereka dipersilahkan duduk di ruang tamu. Dan
Sayyid Idrus lagi berganti baju, memakai kopiah dan serbannya. Mata
mereka sempat memandang disekeliling ruangan. Ada
kalender terpajang di dinding. Bentuknya persegi panjang kebawah.
Kedua tamu itu berbincang-bincang dengan bahasa Holland-nya. Agaknya
mereka tak tega menyeret Tuan Idrus ke dalam terungku. Mereka diam.
Suasana menjadi hening. Mengherankan ?! Tiba-tiba salah
seorang Deurwaarder memberi usul. “Begini Tuan ! Jikalau
Tuan belum bisa menyelesaikan piutang itu, sebaiknya Tuan angkat kaki
dulu dari rumah ini, sebab kalau ketahuan kami tidak melaksanakan tugas
dengan semestinya, pasti di Onschenbaar” sambung kawannya. Sayyid
Idrus menengahi percakapan “Tidak, … !” Katanya. “Malahan dalam waktu
singkat Tuan Tuan pasti naik pangkat, tidak di Onschendbaar” Suaranya meyakinkan. Dan tiada begitu lama kedua Deurwaarder tadi mohon pamitan.
Sementara
itu Ali Bin Muhammad Makarim, sahabat kentalnya yang mukim di Solo
gelisah. Tak dapat tidur karena roh gurunya ayahanda Sayyid Idrus datang
menjelma dalam mimpi membisikkan “Ali, …… ! Ali, …… ! Anakku Idrus
dalam kesulitan. Beri bantuan, …… b a n t u a n”. Segera Ali Bin
Muhammad Makarim menyuruh Abdullah putranya untuk menengok Sayyid Idrus.
Pemuda itu berangkat dengan mobil tuanya. Mesinnya meraung keras
memecah kesunyian malam. Dari Solo menuju Jombang ± 200 Km., Vice versa.
Fajar
pun menyingsing, Sayyid Idrus sudah bangun dari tidurnya. Sambil minum
Qahwah Arab yang panas dan enak, ia mengucapkan sepata cumbu pengetuk
jiwa pada isterinya. Di tepi jalan mobil berhenti. Mesinnya dimatikan.
Seorang pemuda turun. Dan ternyata sang pemuda adalah putra Ali Bin
Muhammad Makarim. Setelah memberi salam dan sapaan Shabahulkhaiir
kepada Sayyid Idrus. Mereka duduk bersama. Abdullah membuka percakapan.
“Abah tak bisa tidur, . . . gelisah sekali !”. Lalu ia bertanya
“Bagaimanakah keadaan Ammi Idrus di sini ?”. “Alhamdulillah, khaiir”
Jawabnya. Dan tak lama kemudian ia mengungkapkan persoalan yang sedang
menimpanya. Mendengar masalah yang agagk rumit itu, segera Abdullah
minta pamit, kembali – pulang. Di hadapan ayahnya,
Abdullah membeberkan segala kesulitan yang dihadapi Ammi Idrus.
Memperhatikan cerita anaknya, Ali Bin Muhammad Makarim pergi kepada
Muhammad Bin Sungkar untuk memberitakan persoalan ini, sembari
menyuruh sahabatnya untuk mensehati putranya, Ali.
Alhasil, segala persoalan tuntas. Ali Bin Muhammad Bin Sungkar mencabut perkaranya. Dan dua orang Deurwaarder yang diperintahkannya untuk memasukkan Sayyid Idrus ke dalam terungku telah dinaikkan pangkatnya, tidak di Onschendbaar.
Semua mengucapkan selamat kepada Sayyid Idrus, sambil memohon maaf atas
segala kekeliruan dan kesalahan yang sudah terjadi. Luar biasa !
Riwayat lain dari Habib Seggaf Bin Syech Al Jufri adalah ; Pada suatu ketika berkatalah Hajjah Intje Ami (Ite) “Uang belanja anak-anak asrama habis, sedang jumlah mereka puluhan yang harus mendapat jatah makanan”. “Segera aku melaporkan keadaan itu pada Guru Tua” Ungkapnya. “Abah, . . .! uang belanja tak ada lagi, habis digunakan sudah”. “Periksa dulu di kantong sana, di Jubah itu !” Serunya. “Semuanya sudah kuperiksa Bah . . .” Tegas isterinya. “Kalau sudah, sabarlah dulu Ummi ! nanti …...”. Ucapnya. Setelah usai melakukan shalat Shubuh dengan suara serak ia bertanya “Sudah ada uang belanja atau belum ?”. “Belum ada !” Jawab isterinya. “Coba lihat kembali dan periksa ulang di kantong Jubah sana” Serunya. Aku menoleh kepadanya dan ia memandangku. Kami d i a m. Serunya lagi “Lihatlah, …… ! ada uang belanja di Jubah”
Aku pun bergerak berdiri menghampiri Juubah itu. Perlahan-lahan
kumasukkan tangan kananku ke dalam kantong Jubah. Ach, seperti
mimpi saja. Dan kataku gembira ; Ini dia uang belanja ! Benarkah ?
Lantas aku menoleh kepadanya, kejernihan diwajahnya terpantul oleh sinar
lampu kecil di dekat tempat tidur. B e n a r, kini uang belanja sudah
ada. Suatu keajaiban.
Diriwayatkan
dari Hi. Mohammad Amin Lasawedi, sebagai berikut ; Setelah sang Juragan
membongkar sauh, mengangkat jangkar untuk berlayar, anak perahu
mengembang layar. Berlayarlah kami bersama rombongan Guru Tua mengarungi
lautan besar di malam yang cerah, diterangi bintang gemintang yang
bersinar. Tak di nyana Imamahnya diterbangkan angin, jatuh terapung di
atas air. Guru Tua berteriak “Yaa Waladii Aamien, Amin, Amiin ! Ambilkan Imamah itu”.
Tanpa banyak pikir langsung saja Aku terjun ke dalam air laut di
tengah kedinginan malam yang menyentak pori-pori kulit terbuka. G e m p a
r ……! Tapi alangkah terkejutnya hati ini, karena di laut yang sedalam
itu, seakan-akan ada sesuatu yang menopang tapak kakiku, sehingga
dalamnya laut hanya di lekuk perut (sampai dipusarkan). Dan Aku pun
mengambil Imamah itu, berhasil meraihnya.
Kemudian
ada lagi yang meriwayatkan, namanya Hi Muhammad Bin Syekh
Abu Bakar. Ceritanya begini ; “Ee, …… pada waktu Almarhum Sayyid
Idrus berada di Ampana, ada terjadi suatu keajaiban, khariqul ada’.
Waktu itu rombongannya di undang untuk jamuan makan. Acara jamuan makan
itu hanya mampu meladeni kira-kira 30 sampai 40 orang tamu. Akan tetapi
di luar dugaan sama sekali tamu yang datang melebihi target. Tetamu
agak banyak yang berdatangan. Tuan rumah nampak risau. Jangan-jangan
pikirnya, makanan tidak mencukupi. Melihat tetamu agak banyak jumlahnya,
Almarhum melirik kepada Tuan rumah dan hampir tak terdengar langkahnya
sudah berada di dapur. Ia berbisik ”Nanti kalau kamu orang mengangkat
sajian, ucapkan — Bismillah Birahmatika Nastaghitsu — sebanyak
tiga kali dan seterusnya ingat Tuhan”. Jamuan makan itu pun
dilangsungkan. Semua orang dipersilahkan makan. Mereka makan
sekenyang-kenyangnya. Persediaan barang makanan, bukan berkurang
jadinya, malah bertambah banyak. Memang aneh kedengarannya, tapi
begitulah kenyataannya.
Firman Allah ; “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”(Qs. 15:75). Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda ; “Waspadalah kamu akan firasat (telepati) orang mukmin, karena dia melihat dengan perantaraan nur, cahaya Allah”(Hr. Turmudzi dari Abu Sa’id Al Khudri).
Seorang pujangga Sufi berkata ;
Kalbu hati
Arif jauhari
Punya mata hati
Nyata baginya di sanubari
Yang tiada wujudnya pasti
Memang,
bagi orang yang batinnya begitu dekat kepada Allah, segala peristiwa
seringkali terlintas dalam pandangan kalbu hati. Begitulah agaknya
Sayyid Idrus sewaktu berlabuh di Pelabuhan Taima (dalam perjalanan
Pagimana, Taima dan Bunta).
Di Pelabuhan Taima tepatnya ia berdiri dan berkata dengan suara yang mengandung isyarat “D a l a m w a k t u s i n g k a t a k a n t e r j a d i s e s u a t u p e r i s t i w a d
a h s y a t. N u n, …… j a u h d i s a n a (menunjuk ketempat
yang di maksud). Peristiwa ini akan menimbulkan perubahan besar setelah
mengalami pengorbanan yang besar pula”. Begitu ungkapnya. Sebut Tuan Ali Bajeber. “Peristiwa apakah itu ?”
Batin Tuan Ali penuh tanya. Segan juga rasanya menanyakan hal tersebut,
meski hatinya ingin sekali mengetahui. Hari-hari berganti dengan bulan,
beberapa bulan kemudian di tahun itu (1965) terjadilah suatu peristiwa
besar yang menimbulkan huru hara di seluruh Nusantara. Tujuh orang
Jenderal tewas secara tragis, pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Itulah peristiwa Gerakan 30 September (G.30 S/PKI). “Rupanya isyarat yang dilontarkan sang guru beberapa bulan yang lalu adalah bakal terjadinya peristiwa sejarah ini, yach !”. Ujar Tuan Ali meyakinkan. “Tinggi juga rupanya tingkatan Telepatinya ?” Sahut penulis.
Lebih
jauh mengenai Gerakan 30 September (G. 30 S/PKI) dapat diketahui dari
fatwa dan gubahan sajaknya. Berfatwa sang Pendiri Alkhairaat “Syaitan masih ada baiknya daripada PKI, karena syaitan masih percaya akan adanya Tuhan, tetapi PKI sama sekali anti Tuhan”. Berikut gubahan sajaknya ;
Sungguh tak pernah kami membenarkan warta
Yang datangnya dari negeri Sovyet dan Cina
Tuhan t’lah benci dan mencerai beraikan kesatuan mereka
Mereka semua dalam keadaan hina dina
Siapa yang restu dan menyetujui undang-undang peraturanya
Maka undang-undang peraturan mereka itulah yang hina leta
Mereka menyatakan jumlah pengikutnya tak terhingga
Bahkan sudah mencapai milyunan jumlahnya
Mereka ‘nantiasa mendapat sokongan dari pemimpin-pemimpinnya
Sedang pemimpin-pemimpin mereka diketahui bak orang gila
Kebaikan sama sekali tiada bagi mereka dan partainya
Karena mereka telah ingkar dan mendustakan agama
W a h a i muda taruna …… !
Hunuskan pedang keperkasaanmu buat mereka
Melalui kekerasan dan sergapan dahsyat
Bukan dengan lemah lembut
Tapi dengan pertempuran yang menyeluruh
Supaya mereka susul menyusul terkubur dalam tanah
Labbaik Allahumma Labbaik, …… ! Dari cerita Sertu Baharuddin Abdullah, khabarnya tibalah Guru Tua tahun 1968 di Jakarta
di Jalan Tangerang No. 99. Mukim di rumah Almarhum Muhammad Alaidrud
bersama tiga orang muridnya; Machfud Godal, Hasbullah Arsyad, dan Syakir
Hubaib, meninggalkan Palu Nagaya dengan Alkhairaat-nya. Memenuhi hajat
keluarga Alaidrus untuk menunaikan ibadah Haji ketanah harapan, tanah
suci, tanah yang bergelimang dengan sejarah, Makkatul Mukarramah.
Ketika akan musta’id (siap) berangkat dari Jakarta
menuju Jeddah, risaulah murid-muridnya karena Paspor tertinggal di
Palu. Melihat kerisauan mereka Umar Bin Alwi Alaidrus mengusulkan supaya
salah seorang diantaranya vice-versa ke Palu mengambil Paspor yang
tertinggal. Tiba-tiba sang guru menyahut “Sudahlah ! Hayya Ista’id,
Paspor sudah ada dalam tas kita, …… di t a s”. Nampaknya mereka merasa
ragu, akan ucapan sang guru. Maka dicobalah membuka tas itu, “Eh, ……!
Sudah ada Paspor yang di cari-cari”. Sahut salah seorang di antara
mereka dengan rasa terkejut. Aneh pikirnya, sebab lama juga
mencari-carinya. T a p i, …… ? Dan mereka pun berangkatlah ke Haramain.
Dari
tulisan H. Zaenal Abidin Betalemba, penulis menyitir, bahwa ; Sewaktu
berada di Makkah Al Mukarramah, beliau mendapat jamuan penghormatan dari
Muftil-Haram, Sayyid Alwy Bin Abbas Al Maliki bersama ulama-ulama besar
Asia – Afrika yang datang berhaji oleh Sekretariat Organisasi Islam Ar
Rabithatul ‘Alamil Islamiyah.
Tengah
beramah tamah dengan ulama di Majlis ini, tiba-tiba datang seorang
‘Alim yang spontan berkata “Wahai Muftil-Haram ! Aku mimpi
semalam, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam datang kerumahmu
bentuk dan pakaiannya seperti laki-laki yang mulia ini. Isyarat
ditujukan kepada beliau (Almarhum Guru Besar kita). Dan para ulama besar
pada waktu peristiwa ini jadi bertambahlah kehormatan mereka kepada
beliau. Namun demikian beliau pun memberikan dengan ikhlas
penghormatannya terhadap mereka.
10. Memenuhi Panggilan Ilahi
Manusia tidak tahu
Kapan dia datang
Ke dunia yang penuh kesulitan
Atau kapan dia akan berangkat ?
……………………………..
Hidup ini adalah bara api
Yang tak pernah tersenyum
Akan membuat manusia
Menjadi kayu bakarnya
……………………..
Manusia menjadi
Tawanan penuh heran
A n t a r a
Rahasia hari kematian
Dan teka teki esok
(Iqbal)
Beta tlah lungsurkan sifat-sifat binatang
Dan beta pun menjadilah orang
Lalu mengapa beta harus takut menyusut
Ketika ajal kematian menjemput ?
(Rumi)
Bait
bait sajak Dr. Sir Muhammad Iqbal dan Syekh Jalaluddin Ar Rumi ini,
menerangkan ; Setiap orang harus menyadarai bahwa dia akan m a t i,
memenuhi panggilan ilahi. Sudah begitu tabiat hidup di dunia yang fani
ini, tak ada yang kekal abadi. Semuanya patah tumbuh hilang berganti.
Segala sesuatu telah diberikan watas waktunya, hidup berganti mati, yang
tidak dapat dimajukan atau diundurkan.
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada kamilah kamu
dikembalikan”(Qs. 21: 34). “Katakanlah ; Sesungguhnya kematian
yang kamu lari daripadanya, pasti akan menemuimu juga, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia berikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”(Qs. 62:8). “Dan sakaratul-maut datanglah dengan sebenar-benarnya”(Qs. 50:19).
Sunnatullah
ini berlaku di pundak manusia. Sifatnya umum, berlaku bagi
masing-masing orang tanpa kecuali, tidak pandang bulu dan pilih kasih.
Karena iu selagi hidup di alam dunia sepatutnya membersihkan jiwa,
memperbanyak amal yang baik dalam ridha Allah agar di akhir hayat
beroleh khusnul-khatimah, hidup mulia dan mati pun baik seperti halnya Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri, sang Pendidik Agung Alkhairaat.
Demikianlah,
sebelum maut menyudahi hayatnya terlebih dahulu di timpa penyakit dan
jatuh sakit. Hampir delapan bulan tak dapat mengecap sesuap nasi,
kecuali minum air sekedarnya. Penyakit yang menimpah dirinya sukar
disembuhkan. Sakitnya semakin parah, namun ia tetap berikhtiar melakukan
usaha pengobatan. Berkatalah Dokter Robby, yang merawatnya “Kalau beliau ini manusia biasa sudah lama meninggal dunia”.
Ia meninggal dunia pada dinihari Senin Pukul 02.40 (WITA) tanggal 12
Syawwal 1389 Hijriah bertepatan dengan tanggal 22 Desember 1969
Miladiah. Diwajahnya nampak suatu cahaya yang jernih dan damai, cahaya
keridhaan ilahi.
O, jiwa yang tenang tentram
Kembalilah keharibaan Tuhan-mu
Dengan hati puas lagi diridhai-Nya
Masuklah pada golongan abdi-abdiku
Dan masuk pulalah ke dalam jannahku
(Qs. 89:27-30)
Almukarram Habib Seggaf Bin Syech Al Jufri, pada bait-bait ini menambahkan ;
T’lah kita saksikan
Penguburan sang tercinta
Yang beroleh keampunan
Di ribaan Tuhan
Semoga yang Maha Pengasih
Mencurahkan rahmatnya
Karunia yang berlimpahan
Bagaikan awan gemawan
Di Sorga taman Khuldi
Tempat peristirahatannya
Bersama para pencinta
Teman-teman sejawatnya
Sang pamanda tercinta
P u n dikebumikan
Menjadi buah perkataan
Dengan lisan dituturkan
Orang-orang simpatisan
Menyampaikan pidatonya
Dengan setulus-tulusnya
Tanpa tedeng aling-aling
Berbahagialah
Sayyid Idrus Bin Salim Al Jufri, sang Pendiri Perguruan Alkhairaat,
sekaligus Pendidik Agungnya, yang telah mangkat, yang pada waktu
hidupnya bersemboyan dan memesan ; “F a s t a b i q u l k h a i r a a t, s e k a l i l a g i f a s t a b i q u l k h a i r a a t !” Dan “Wa layisa liqashdilmaali waljaahi innamaa — Liqashdi huluuli fie jinaanittana’umi”.
Adapun amanat yang berhubungan dengan penyelenggaraan jenazahnya ialah ;
- Kuburkan dekat kuburnya Syarifah Aminah
- Sembahyangkan di depan Altar Perguruan Alkhairaat.
- Cukup Tiga malam Tahlilan
- Hari ke-Tujuh adakan Takhtim (Do’a)
- Begitu juga hari ke-Empat Puluh dan tiap-tiap tahun (Haul)
Berdasarkan amanat yang ada, maka dilaksanakanlah rentetan upacara pemakaman dengan ;
- Protokol : Ustadz Bachrein Thaijeb
- Memandikan dan : Ustadz H.Abdul Hay Abdullah
mengkafankan H. Hasbullah Arsyad
Jenazah H. Moh. Qasim Maragau
- Imam Shalat Jenazah : Sayyid Hasan Alaidrus
- Menyambut dan : Sayyid Abdillah Al Jufri
memasukkan ke H. Zainal Abidin Betalemba
liang lahad T h a h a Bachmid
- Muazzinnya : H. Zainal Abidin Betalemba
- Pembaca Talqin : H. Rastam Arsyad
Ilaa-rruuhi Al Habib Idrus Bin Salim Al Jufri, Al Fatihah; …………………………………………………………………
Amien ! Yaa Rabbal ‘Alamien.
Catatan Kaki ;
1. Tentang Kitab I’anatul Ikhwan,
Habib Ahmad Bin Abdullah Bin Thalib Al Aththas menganjurkan kepada
Muhammad Bin Saqqaf Al Jufri untuk mendalaminya, sebelum menela’ah
Kitab-kitab Habib Abdullah Bin Husain Bin Thahir, Kitab-kitabnya Habib
Ali Bin Husain Al Aththas, Kitab Manaqib-nya Habib Ali Bin Abdullah As
Saqqaf dan Kitab Al Jaamiusshaghiir (Lihat Siirah Muhammad Bin Saqqaf Bin Muhammad Bin Saqqaf Al Jufri, hal 18)
2. Judul aslinya ialah “Umdatussaalik Wa’datunnasik”
karya ayahnya yang hanya selesai di Syarah sampai pada Bab tentang
Nazar. Sang ayah tak sempat lagi merampungkannya. Karena itu, berkatalah
ia “Sesungguhnya salah seorang di antara anak-anakku ataupun
cucu-cucuku yang nantinya bakal menyempurnakan Syarahnya hingga dapat
selesai” (Lihat Tarjamatu Sayyidil Jaddi Alwy Bin Saqqaf Bin Muhammad Al Jufri, hal. 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar